Komunikasi Massa Global

Posted: May 28, 2010 in Komunikasi

Komunikasi Massa Global

MEDIA GLOBAL:

Faktor Pemicu dan Wacana yang Berkembang Globalisasi media massa semakin tak terelakkan ketika teknologi komunikasi mendorong industri media. Teknologi transmisi media semakin kuat. Teknologi transmisi media memaksa para pelaku bisnis media membentuk media massa sebagai perusahaan komersial. Pada titik tertentu, globalisasi media mengikuti perdagangan dan hubungan internasional. Hal ini terjadi karena sifat dan cakupan media modern memungkinkan untuk melintasi batas-batas tradisional ruang dan waktu. Konstelasi media massa global juga semakin didukung dengan faktor ketergantungan ekonomis dari negara tertentu kepada negara yang lain. Tentunya ketergantungan ekonomi ini dipengaruhi juga dengan faktor ketidakseimbangan geopolitik yang selama ini melekat pada sistem politik global. Faktor lain yang mendorong globalisasi media adalah periklanan dan perkembangan infrastruktur telekomunikasi.
Fase lain yang mendorong media global adalah fenomena berkembangnya konsentrasi media baik secara transnasional dan multimedia. Hal ini menghantar pada masalah kepemilikan media oleh para taipan/perusahaan media global. Dengan demikian sistem media pun menyebar serba lintas secara teritorial maupun kategorial di seluruh dunia. Sistem media global secara simultan juga memberikan warna dan selera yang sama dalam proses komunikasi global dan pada umumnya sistem program acara berita dan hiburan merupakan andalan dalam proses tersebut. Kehadiran sistem media global memungkinkan khalayak bisa memilih program acara lintas benua, lintas sosial, lintas ekonomi dan lintas kebudayaan. Kecenderungan inilah yang memacu pada aspek homogenisasi dan westernisasi program media, karena kebanyakan program media baratlah yang menguasai pangsa khalayak global

Faktor lain yang perlu dibicarakan adalah masalah ketergantungan media internasional yang dimulai dari asumsi bahwa terdapat ketergantungan secara sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan dari negara periferi kepada negara pusat (asumsi teori ketergantungan). Ketergantungan atau otonomi komunikatif secara global yang pada akhirnya juga dibingkai dalam beberapa poros yaitu poros teknologi dan poros komunikasi yang nantinya akan berpengaruh pada proses produksi, distribusi dan konsumsi media massa. Pada isu ini juga terdapat isu konsekutif lainya yaitu imperialisme budaya. Media global pada tesis utamanya mempromosikan ketergantungan kontinual ketimbang pertumbuhan ekonomi masyarakat. Ketiadaseimbangan arus isi media semakin menghapus otonomi budaya dan mengendorkan makna pembangunan. Ketidakseimbangan hubungan dalam aliran berita meningkatkan kekuatan global dan menghalangi faktor-faktor yang diperlukan untuk meningkatkan identitas nasional. Media global semakin menguatkan homogenisasi dan sinkronisasi dengan mencabut hubungan antara media dengan pengalaman sehari-hari yang bersifat partikular dan lokal.

Hanya memang isu imperialisme dan globalisme media yang bersifat negatif harus dilihat juga secara imbang. Dalam arti bahwa globalisasi media juga berkontribusi untuk membuka kemungkinan-kemungkinan konstruktif. Point utamanya adalah mengembalikan kembali dimensi partisipatori dari khalayak sehingga khalayak harus aktif dan positif melihat media massa global. Tidak terbantah juga bahwa media menyumbang proses difusi, pendewasaan politik dan sosial. Kekuatan budaya tidak melulu destruktif, dalam arti ada juga proses transkulturasi, hybridisasi, deteritorialisasi, semiotika sosial yang didapatkan dalam pengembangan media global. Dengan demikian, globalisme media mempunyai efek sentripetal dan sentrifugal dalam sistem

WACANA EKONOMI DAN BUDAYA DALAM ISU MEDIA GLOBAL
Dinamika media global telah menghubungkan beberapa konsep dalam ekonomi dan budaya sebagai isi media atau sistem yang masuk dalam keseluruhan proses media massa. Keterbukaan dalam sistem ekonomi global tidak serta membuat bahwa faktor-faktor ekonomi merupakan faktor konstitutif dalam media tersebut. Dilihat dalam keseluruhan aspek, dimensi budaya menjadi juga faktor krusial dalam media. Tesis ketergantungan total terhadap keseluruhan isi dan teknologi media tidak selama benar. Pada derajad tertentu terdapat seleksi dan pemilahan yang jelas di mana sebuah negara bisa memasukkan dimensi internasionalisasi media dan dimensi nasionalisasi media massa. Gabungan antara motif ekonomi dan kebudayaan sering mengaburkan masalah transnasionalisasi media. Tingkat persaingan dan kemampuan ekonomi serta kemauan untuk survive dalam konteks kebudayaan dan identitas lokal menjadi konsideran-konsideran utama dalam proses globalisasi media.
Wacana ini juga menyatakan beberapa efek kultur pada era globalisasi. Efek kultur ini semakin didorong dengan keberadaan media global. Isu pertama yang muncul adalah isu identitas budaya. Proses pembentukan identitas budaya dipengaruhi oleh media massa. Fungsi media sebagai media transmisi budaya mendapatkan peran maksimal baik secara lokal, nasional maupun internasional dengan tingkat analisisnya masing-masing. Komodifikasi simbol budaya disebarkan melalui media. Bukan tidak mungkin terjadi pengembangan sikap multikultural. Media juga membentuk deteritorialisasi kebudayaan, evolusi bentuk budaya dan kultur media global itu sendiri.
BAGAIMANA MENGONTROL MEDIA GLOBAL?
Tiadanya pemerintahan global tentunya membawa permasalahan sendiri ketika kita berhadapan dengan fenomena media global. Kekuatan pasar bebas dan kedaulatan nasional bisa bersinergi dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap media global. Kekuatan normatif regulasi global memang ada tapi tidak sepenuhnya mengikat. Terdapat sejarah yang menyatakan perlunya kekuatan regulasi global yang mengelola fenomena komunikasi massa global ini.
Tidak bisa dipungkiri terdapat lembaga-lembaga lintas negara yang bekerja sama untuk mengelola media global meski terserak-serak kadang tidak mempunyai kekuatan sama sekali. Lembaga-lembaga itu misalnya ITU (mengatur masalah telekomunikasi global), WTO (yang mengurus masalah perdagangan dan tetek bengeknya), Unesco (sempat aktif dalam pengaturan tentang kebebasan berekspresi dan internet), WIPO (menselaraskan legislasi dan prosedur kekayaan intelektual, konsumen dan penulis) dan ICANN (banyak berkecimpung dengan komunitas internet). Permasalahan regulasi dan peraturan tentang media global banyak menyentuh isi ekonomi dan teknis kurang dapat menyentuh dan kritis dalam konteks sosial dan kebudayaan.
KONSEP MASSA
Pada awalnya penggunaan istilah ini biasanya membawa pemahaman yang negative. Istilah ini dihubungkan dengan banyak orang atau orang-orang biasa, biasanya di lihat sebagai tidak terdidik, bebal dan sangat tidak logis, tidak mau diatur dan malah cenderung ke arah kekerasan (seperti ketika massa berubah menjadi gerombolan perusuh) (Bramson, 1961). Tapi istilah ini bisa juga digunakan untuk pengertian yang positif, khususnya dalam tradisi masyarakat sosialis, dimana istilah mengkonotasikan kekuatan dan solidaritas dari orang-orang pekerja biasa pada saat diorganisasikan untuk tujuan bersama atau ketika sedang dalam keadaan mengalami penindasan. Raymond Williams (1961:289) memberikan komentar tentang ini: Tidak ada yang namanya Massa, hanya beberapa cara dalam melihat orang-orang sebagai massa.
Konsep Massa dapat diringkas seperti dibawah ini:
1. Kumpulan yang besar

2. Tidak ada perbedaan

3. Terutama sangat bercitra negative

4. Ketiadaan aturan organisasi

5. Refleksi dari masyarakat kebanyakan
PROSES KOMUNIKASI MASSA

Ciri/keistimewaan yang paling jelas dan nyata dari media massa adalah mereka di disain untuk menjangkau “yang banyak” (umum). Hubungan dalam hal ini tidak terelakkan adalah satu arah, satu sisi, tidak mengenai orang tertentu (umum) dandan ada jarak sosial, sama seperti jarak fisik antara pengirim dengan penerima informasi. Hubungan ini tidak hanya asimetris, namun juga memiliki tujuan yang kalkulatif dan manipulatif
Pesan media sebagian besar adalah hasil kerja bertujuan mendapatkan keuntungan untuk pasar media dan nilai guna untuk penerimanya, konsumen media. Pesan media ini pada dasarnya adalah sebuah komoditas dan yang berbeda dalam isi simbolis atas hubungan komunikasi manusia yang memiliki perbedaan tipe pula.
Satu definisi awal (Janowitz, 1968) tentang Komunikasi massa dibaca sebagai berikut: Komunikasi Massa terdiri dari kebiasaan dan cara-cara yang dilakukan oleh orang-orang yang mengkhususkan diri menggunakan perlengkapan/peralatan teknologi (mesin cetak, radio, film, etc) untuk menyebarkan isi simbolis kepada khalayak yang luas, heterogen dan tersebar luas.

Proses komunikasi massa dapat diringkas sebagai berikut:
1. Distribusi dan penerimaan Informasi dalam skala luas

2. Arus informasi satu arah

3. Hubungan yang asimetris

4. Tidak mengenai seseorang (umum) dan tidak diketahui subyek manusianya

5. Dapat dihitung atau hubungan pasar

6. Isi yang di standarisasikan
MASSA SEBAGAI AUDIENS
Massa sebagai audiens memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
1. Jumlah yang sangat besar

2. Tersebar luas

3. Tidak berinteraksi satu sama lain dan tidak saling mengenal

4. Heterogen/beraneka ragam

5. Tidak terorganisasi atau bergerak sendiri-sendiri

6. Obyek dari pengelolaan dan manipulasi
INSTITUSI MEDIA MASSA
Ciri-ciri dari institusi media adalah sebagai berikut:
1.Kegiatan utamanya adalah memproduksi dan mendistribusikan isi simbolis informasi.
2.Media beroperasi pada wilayah public dan mereka diberikan aturan
sedemikian rupa.

3.Partisipasi/keikutsertaan sebagai pengirim atau penerima informasi
adalah sukarela, tanpa paksaan.

4.Organisasinya professional dan memiliki bentuk birokratik.
5.Media adalah kedua-duanya, bebas dan tanpa kekuatan

BUDAYA MASSA DAN BUDAYA POPULER
Konten berita khas yang disalurkan melalui jaringan yang baru diciptakan terhadap formasi sosial yang baru (massa audiens) adalah pada awalnya merupakan bermacam-macam campuran cerita, gambar-gambar atau image, informasi, ide-ide, hiburan dan tontonan. Walaupun begitu, konsep pertama dari ‘Kultur massa’ umumnya digunakan untuk menunjukkan hal-hal tersebut (Lihat Rosenberg and White,1957). Kultur Massa, memiliki referensi yang luas tentang selera, preferensi/pilihan, sikap/tingkah laku dan gaya/mode dari kumpulan orang banyak (atau mayoritas). Tapi Kultur Massa juga memiliki konotasi merendahkan secara umum, utamanya dikarenakan oleh perkumpulan-perkumpulannya dengan yang pilihan kulturalnya diasumsikan ‘tidak terdidik’, tanpa diskriminasi atau hanya audiens kelas rendahan.

Ciri-ciri dari Kultur Massa:

1. Tidak tradisional

2. Bukan kalangan elit

3. Hasil dari orang banyak (massa)

4. Populer

5. Komersil

6. Dibuat Homogen
Pandangan Lain tentang Kultur Massa

Perkembangan dari kultur massa semakin terbuka untuk menghasilkan lebih dari satu interpretasi. Bauman (1972) mengangkat isu bahwa komunikasi massa yang disebabkan oleh kultur massa, beragumentasi bahwa komunikasi massa dan kultur massa lebih dari sekedar alat untuk membentuk sesuatu yang telah terjadi disetiap kasus sebagai hasil dari peningkatan kultural homogen dari kumpulan masyarakat secara nasional.
Dapat kita ingat bahwa budaya populer telah mengalami revisi nilai secara luas oleh teori-teori sosial dan budaya serta pemutarbalikan masalah yang sangat besar. Hal ini tidak lagi dipandang sebagai ketidakorisinalitasan, kreatifitas atau manfaat dan sering dirayakan karena arti dan maksudnya, signifikansi kebudayaan dan nilai-nilai expresif.
Penilaian/Pengukuran Ulang Konsep Massa
Yang mungkin menjadi jelas saat ini adalah bahwa Media Massa banyak berperan dalam memberikan solusi dalam permasalahan tersebut. Dimanapun kita berada, siapapun kita, Media Massa menawarkan jalan keluar menghadapi kelompok masyarakat skala besar, membentuk kita menjadi kepekaan akan bahaya, serta memediasi hubungan kita dengan tekanan-tekanan pihak yang lebih berkuasa.

KEBANGKITAN PARADIGMA DOMINAN UNTUK TEORI DAN PENELITIAN
Media dan masyarakat dan subkonsep dari ‘Massa, yang telah dideskripsikan membantu membentuk model riset paradigma Komunikasi Massa yang dijelaskan sebagai ‘dominan’. Paradigma Dominan merupakan kombinasi dari gambaran kekuatan media massa dalam masyarakatnya dengan ciri cirri dasar berasal dari penelitian ilmu sosial, survey sosial, eksperimen psikologi sosial, dan analisa statistikal.
Riset komunikasi pada masa sebelumnya, sangat dipengaruhi oleh ide/gagasan bahwa liberal, pluralis dan masyarakat yang adil telah terancam oleh pemikiran/sistem alternatif, yaitu bentuk totalitarian (komunisme), dimana media massa didistorsi menjadi alat untuk menekan demokrasi.

Dapat disimpulkan bahwa Paradigma Dominan dalam penelitian komunikasi adalah sebagai berikut:

1. Masyarakat ideal Liberal-Pluralis

2. Pandangan Fungsionalis

3. Penyebaran linear model pengaruh

4. Media yang kuat dimodifikasi oleh hubungan kelompok

5. Media dilihat sebagai masalah social

6. Metode behavioris dan individualis

Sebuah Alternatif, Kritik Paradigma


Paradigma alternative dapat disimpulkan menjadi beberapa bentuk, yaitu:
1. Pandangan kritis masyarakat dan penolakan nilai netralitas

2. Penolakan atas model transmisi dari komunikasi

3. Ketidakpastian pandangan terhadap teknologi media dan berita/pesan

4. Penggunaan atas sebuah interpretasi dan pandangan konstruksionis

5. Metodologi kualitatif

6. Preferensi cultural atau teori-teori ekonomi politik

7.Kesadaran luas dengan ketidaksamaan dan sumber-sumber pemikiran oposisi dalam masyarakat
Perbandingan Paradigma


Dua versi Utama paradigma dalam bab ini adalah Alternatif dan Dominan Paradigma yang masing-masing membawa dua unsur yang berbeda, yaitu Paradigma Alternatif membawa unsur Kritis dan Paradigma Dominan membawa unsur Interpretatif atau kualitatif.

Perbandingannya menurut 2 orang tokoh adalah sbb:
a. Rosengen (1983):
1.Membedakan Pendekatan objektifitas dengan pendekatan Subjektifitas
2.Mempertentangkan antara Perubahan Radikal dengan Regulasi

b. Potter (1993) yang di sepakati oleh Fink & Ganz (1996):
1. Bagian ilmu sosial yang interpretative dan analisis kritis.

EMPAT MODEL KOMUNIKASI
Definisi asli dari komunikasi massa sebagai sebuah proses tergantung pada sisi objektif dari produksi massal, reproduksi dan distribusi yang terbagi-bagi pada beberapa media yang berbeda. Dapat dibedakan empat model proses komunikasi publik, diluar pertanyaan tentang bagaimana ‘media baru’ seharusnya di konsepsikan, yaitu :

1. Model Transmisi

Hasil penelitian Westley & MacLean adalah bahwa Komunikasi melibatkan interpolasi/Pengalihan pola pikir dari ‘Peran Komunikator’ yang baru antara masyarakat dan penerima pesan (audiens). Ada 3 fitur penting dari model komplit komunikasi massa yang digambarkan oleh Westley & MacLean yaitu:
1.Menekankan pada peran memilih dari komunikator massa.
2.Bahwa pemilihan didasarkan pada penilaian atas apa yang disenangi oleh pemirsa.
3.  Komunikasi tidak memiliki tujuan khusus, diluar tujuan akhirnya.

Menurut model ini, komunikasi massa adalah proses pengaturan sendiri yang diarahkan oleh kepentingan dan permintaan pemirsa yang hanya dapat diketahui oleh pemilihan dan respons dari pemirsa tersebut atas apa yang ditawarkan oleh media.

2. Model Ritual atau Ekspresif

Disebut ritual, karena, menurut Carey, komunikasi terkait dengan keinginan berbagi, partisipasi, asosiasi, persahabatn dan keyakinan umum. Pandangan ritual tidak diarahkan kepada perluasan pesan dalam ruang, tapi pemeliharaan masyarakat dalam waktu. Bukan perbuatan penanaman informasi namun gambaran dalam berbagi keyakinan.
Disebut model komunikasi ekspresif karena penekanannya adalah juga kepada kepuasan hakiki/intrinsik dari pengirim atau penerima pesan. Pesan dalam komunikasi ritual biasanya laten dan ambigus, tergantung pada pengertian/asosiasi dan simbol-simbol yang tidak dipilih atas kemauan sendiri oleh partisipan dalam komunikasi ini, namun langsung terjadi dalam kebudayaan. Media dan pesan biasanya sulit untuk dipisahkan, dan komunikasi ritual ini relative tidak mengenal waktu dan perubahan. Contohnya dapat ditemukan dalam seni, agama dan perayaan-perayaan atau festival publik.

3. Model Publisitas : Komunikasi sebagai pertunjukan dan atensi


Sering kali tujuan utama dari media massa bukanlah untuk mengirimkan informasi ataupun untuk menyatukan ekpresi publik dalam hal budaya, kepercayaan, atau nilai-nilai sosial, namun secara sederhana hanya untuk menangkap dan menguasai atensi visual atau pendengaran. Dalam melakukan hal tersebut, media mencapai satu tujuan ekonomi, yaitu memperoleh keuntungan dari audiensnya (atensi sama dengan konsumsi) dan secara tidak langsung menjual atensi pemirsanya kepada para pemasang iklan. Dalam model ini, pemirsa media hanyalah sebagai penonton belaka, bukan menjadi partisipan dari proses komunikasi atau penerima informasi. Sehingga hanya menjadi obyek pasar media.
4. Model Resepsi: Kode dan Penerimaan Kode dalam Media


Esensi dari Pendekatan resepsi adalah untuk menemukan asal dan konstruksi dari arti pesan (diambil dari media) bersama dengan penerima pesannya. Pesan-pesan dari media selalu terbuka dan memiliki banyak arti dan di interpretasikan menurut konteks dan budaya penerimanya.
Unsur dari pendekatan resepsi ini ada dua menurut Hall (1974/1980), yaitu:
1. Komunikator memilih untuk mengkodekan pesan-pesan untuk tujuan-tujuan institusional dan idelogi dan untuk memanipulasi bahasa dan media untuk tujuan tersebut.
2. Penerima pesan atau dekoder, tidak memiliki keharusan untuk menerima pesan sebagaimana yang terkirim, namun bisa menolak pengaruh ideologis dengan mengambil media yang berbeda atau menjadi pembaca/pemirsa oposisi, menurut pengalaman dan analisa mereka sendiri.
Prinsip kunci dari model ini adalah :

1.  Keberagaman arti dari isi pesan dalam media
2. Keberadaan dari komunitas intepretatif atas pesan-pesan dalam media, yang bervariasi
3. Penerima pesan memiliki kekuasaan/keutamaan dalam menentukan arti pesan

Kesimpulan
Tidak bisa bilang tidak apabila ada bagian yang menyatakan bahwa media massa kontemporer adalah media massa global. Kekuatan kapitalisme global merupakan kekuatan besar yang juga masuk dalam dunia komunikasi massa. Faktor ekonomi dan mobilisasi massif yang menjadi karakter utama globalisasi merupakan faktor yang krusial dalam pembentukan media massa global.
Pertama, McQuail dengan imbang mau menjelaskan posisi media dalam era globalisasi berikut konsekuensi yang mengikutinya. Globalisasi memang harus dilihat dalam beberapa dimensi, termasuk dalam konteks negatif maupun positif.

Kedua, menempatkan komunikasi massa global dalam perkara kapitalisasi global dalam arti tertentu menyesatkan. Dalam arti bahwa kapitalisme global tidak lagi berbicara an sich sistem ekonomi saja tapi sistem sosial, budaya dan politik. Maka media global harus tidak dipahami dalam dimensi ekonomi tapi dalam dimensi non ekonomi lainnya.
Ketiga, siapa yang bisa melawan kekuatan pasar bebas dalam era globalisasi? Bentuk cair dan alokasi, ahistoris dari kekuatan pasar bebas mustahil untuk diatur dalam bentuk yang lebih positif. Siapa yang menguasai ITU, WTO, Unesco dan sebagainya? Tetap saja negara-negara pusat yang mempunyai kepentingan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Hilangnya kontrol pada derap progres media global merupakan sebuah keniscayaan kecil meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa kontrol atas media global bisa dilakukan. Tapi masalahnya, siapa yang bisa mempunyai justifikasi legitimasi bahwa dirinya bisa mengontrol kekuatan media dan pasar global ?

Leave a comment